Pagar tinggi nan kokoh terbuka otomatis, volvo hitam itu melaju perlahan ke dalam melalui taman. Di sepanjang kiri kanan taman itu terdapat patung-patung ksatria Yunani yang seakan menjadi penjaga penghuni istana itu. Sangat asri dengan pohon-pohon yang menaungi halaman.
Mobil melewati kolam dengan pancuran putri duyung yang mengeluarkan air melalui mulutnya. Mobil itu berhenti pada lobi.
Pilar berornamen Athena dewi perang membawa pedang menjulang tinggi menopang atap. Serba putih dengan Athena dan juga aneka senjata di sekeliling bangunan seakan membentengi penghuninya. Rumah itu benar-benar lebih mirip benteng.
Warna dominan hanya putihnya benteng, hijaunya taman dan juga merahnya mawar-mawar yang mengelilingi benteng itu.
Jaejoong keluar dari mobil dan langsung disambut beberapa maid yang berseragam merah maroon dikombinasi dengan putih.
"Selamat datang kembali, Tuan muda. Silahkan beristirahat! Kami sudah menyiapkan segalanya."
Jaejoong melangkah masuk menuju ruang dalam yang berventilasi tinggi. Ruang itu tak banyak pernak-pernik. Suasana lenggang begitu terasa, tak ada kehangatan lagi sejak enam tahun yang lalu.
"Senang melihat Tuan muda kembali," sapa Rain.
"Barang-barangku masih di hotel," Jaejoong menghempaskan tubuhnya ke sofa.
"Kami akan mengurusnya, Tuan muda. Bagaimana keadaan Anda?"
"Tidak terlalu baik. Perjalan kemarin membuat lelah, untung saja aku tidak langsung pulang, pinggangku bisa patah," gerutu Jaejoong sambil mempoutkan bibir cherry miliknya.
"Suatu ide yang bagus untuk langsung menuju hotel sepulang dari bandara."
"Eungh.. Bagaimana perkembangan situsku?"
"Hampir siap. Kami telah melakukan editing terakhir, data-data dari keluarganya pun sudah lengkap. Kami hanya menunggu persetujuan Tuan muda."
"Baiklah, tak perlu terlalu cepat. Aku ingin semuanya berjalan perlahan tanpa dia sadari."
Jaejoong bangkit dari sofa dan melangkahkan kakinya. Ia ingin istirahat di kamarnya. Saat menaiki tangga, ia melihat seorang namja seusianya dengan wajah angkuh menuruni tangga sambil bersenandung kecil. Jaejoong mendadak marah melihatnya.
"Bagaimana bisa anak haram ini tinggal di sini??" bentak Jaejoong saat ia berpapasan dengan namja itu. Namja yang dimaksud langsung berhenti sambil menatap Jaejoong panik, seketika wajah angkuhnya itu lenyap.
"Aku tidak sudi serumah dengan anak haram ini!"
Ajumma Min Hye kepala pelayan datang tergopoh-gopoh karena mendengar keributan itu.
"Jwesonghamnida, Tuan muda. Tapi ini perintah Tuan besar. Harap Tuan muda membicarakannya langsung kepada Tuan besar setelah beliau pulang," Ajumma itu tampak ketakutan.
"MWO..!! Menunggu?? Kau menyuruhku menunggu?? Sudah aku katakan, rumah ini tidak ada yang boleh tinggal di sini, apalagi dia! CEPAT USIR..!!! Rain!! Sudah kuperintahkan untuk melaporkan semua perkembangan di rumah ini, beraninya kau!!" Jaejoong benar-benar kesal.
"Jwesonghamnida. Ini atas perintah Tuan Besar langsung."
"SHITT!!" Jaejoong membalikkan tubuhnya, menatap tajam dengan penuh amarah ke arah namja yang ketakutan. "KAU!! TURUN SEKARANG JUGA!!" tudingnya.
Karam, namja yang dimaksud buru-buru menuruni tangga. Ia menunduk pucat. Jaejoong segera menghampiri dan mendorong kasar tubuhnya.
"Sejak kapan kau tinggal di sini, hah?! Tidak punya malu, eoh? Mana pelacur itu? Beraninya kalian bersekongkol untuk menipu appaku!"
Karam tidak berani menjawab. Ia mundur dan terus mundur. Jaejoong terus mengikutinya sambil menyentak-nyentakkan bahunya.
"APA MAUMU??!! BELUM CUKUP SEMUA HARTA YANG DIBERIKAN APPAKU, EOH??"
"Sudah Tuan muda, jangan bertengkar! Kalian saudara," Jaejoong berbalik, menatap ajumma Min Hye marah.
"Apa maksudnya? SAUDARA? Aku tidak sudi bersaudara dengan manusia hina seperti dia yang hidup dari satu pohon ke pohon lainnya, PA-RA-SIT!!"
"Jeongmal jwesonghamnida, Tuan Muda Jaejoong. Tuan besar telah menikahi nyonya Hye Jin dua tahun yang lalu," jelas Rain sambil membungkukkan badannya.
"MWO!!! Apa kau bilang? Jadi maksudmu dia... maksudmu appa beristri lagi?! dan KAU TIDAK MELAPORKAN KEPADAKU, HAH!!"
"Benar Tuan muda, maafkan saya menyembunyikan berita ini dari Tuan muda. Tuan besar langsung mengurus masalah ini, jadi ka...mi....."
"DIAM!!" Jaejoong menghampiri Karam, menarik napas panjang dan menahan amarah yang membuat giginya beradu.
"Hebat! Sangat hebat!" ucapnya sambil menepuk-nepuk pipi Karam, "Kau dan Ummamu benar-benar hebat sekali."
Karam menepis tangan Jaejoong dan menghindar.
"Sekarang kita saudara, Jaejoong-ssi. Jangan seperti itu!" kata Karam takut-takut.
"Enam tahun aku tidak pulang, ternyata begitu banyak yang berubah. Kau dan ummamu telah memenangkan sedikit permainan ini, tapi aku yakin kalian tak akan bertahan lama." Jaejoong menyeringai.
"Appamu yang memintanya. Lagipula mereka saling mencintai," kata Karam.
"Mencintai? Ciih, kau kira aku bodoh, hah? Dia hanya mencintai harta appaku." Jaejoong menarik kasar kerah kemeja Karam, "Rumah ini penuh cinta sebelum kalian datang!! Kau pasti tidak senang aku pulang, bukan? Bahkan kau juga berharap aku mati di sana, bukan? Jangan harap," Jaejoong melepaskan cengkeramannya sambil menyentak, "Aku tidak akan mati! Meskipun kalian harus membunuhku beratus-ratus kali, aku tidak akan mati! Aku akan tetap hidup untuk menarik paksa urat nadi kalian satu per satu agar kalian tahu apa itu rasa sakit!!!" Jaejoong menuju pintu keluar.
"Aku tidak mau dia ada di sini. Jika aku pulang malam nanti dan dia masih di sini, kalian tahu apa akibatnya!"
"Tapi Tuan muda, kami tidak berani. Ini perintah Tuan besar."
"Jika kau terus menerus mengatakan ini perintah Tuan besar, akan ku kirim kau ke Paris mengikuti jejak Tuan besarmu itu! Ingat pesanku tadi!!" Jaejoong melirik Karam tajam.
"Jika kau ingin selamat, cepat pergi dari sini! Aku tidak main-main. Kau tahu aku pernah hampir membunuh orang, bagiku tak masalah jika harus ku ulangi lagi."
Jaejoong menuju mobil yang terparkir di teras. Kemarahan menyentak kepalanya.
"Bawa aku ke tempat umma!"
____####___
Mobil berhenti di deretan pemakaman yang sangat luas yang hijau. Pemakaman itu bukan tempat pemakaman umum, tak heran jika tempat itu sangat terawat. Suasana puncak begitu sejuk pada saat hari mulai petang itu.
Jaejoong turun dari mobil sambil menebarkan pandangannya pada bukit hijau yang sedang berkabut. Ia mengikuti sopir menaiki tangga setapak dengan hati-hati.
"Siapa saja yang pernah kemari...??"
"Hanya Tuan besar saja, Tuan muda," jawab sopir itu sambil terus menaiki tangga. Jaejoong tak menyahut.
"Masih jauh?" tanya Jaejoong. Ia terus mengikuti sopir itu berjalan di jalan setapak menaiki tangga-tangga batu di tengah hamparan rumput. Udara sore itu mulai dingin. Matahari memerah di ufuk barat.
"Tidak jauh lagi, Tuan muda." Jaejoong menghela napas, 'Aku baru tahu...'
Jaejoong berhenti pada sebuah rumah kaca, penuh dengan berbagai tanaman bunga yang semerbak harumnya begitu Jaejoong masuk setelah sopirnya membukakan pintu rumah kaca yang lumayan besar.
"Silahkan, Tuan muda."
Jaejoong mendekati gundukan berkeramik di tengah-tengah rumah kaca itu. Diremasnya buket bunga yang ada di situ, bulu kuduknya meremang.
"Umma.... aku....," ia terduduk di depan makam. Tangannya terulur mengelus foto hitam putih dengan wajah yeoja tengah baya yang sedang tersenyum cantik. Kim Heechul, nama yang terpahat di nisan itu.
"Umma... mianhae. Jeongmal mianhae Umma...," Jaejoong semakin menundukkan kepalanya sambil menahan sesuatu.
"Mianhae Umma, untuk semua kesalahanku. Aku baru pulang sekarang, menjenguk Umma."
Jaejoong berusaha menahan tangisnya. Ia memang tidak pernah menangis lagi, hampir enam tahun. Kepalanya bagai ditusuk paku besar dari arah kiri dan kanan, menyentak otaknya. Memaksa mengeluarkan sesuatu yang tak ingin lagi dikenangnya. Sepertinya untuk kali ini pertahanan kokoh yang ia bangun akan hancur juga.
.: Jaejoong pov :.
"Lulus!! Kita lulus!! Jaejoong-ah ayo kita rayakan, yaaa..."
Lalu, "Yeey, liburan ke villa Jaejoong... Kita-kita saja, jangan ramai-ramai,"
Malam yang menghancurkan semuanya. Tidak. Bukan malam, tapi aku. Ya, aku.
"Ayolah
Jae, ini untuk kenang-kenangan kita. Ini dokumentasi pribadi kita.
Setelah ini, kita sudah SMA, kita akan tumbuh. Jadi tidak salah kan kita
mempunyai kenang-kenangan body kita saat masih SMP, masih rata.
Hahahhaha....."
"MEMALUKAN!! SUNGGUH MEMALUKAN!! KAU SUDAH GILA, JAE!!"
Ahjussi Young Min memang tidak pernah menamparku atau memukulku, meski aku pantas mendapatkannya. Setelah detik itu, semuanya bagai mati. Aku seperti ditelanjangi. Aku memang sudah ditelanjangi.
"Ahjussi
akan mengurus semuanya, termasuk namja tak tahu malu yang bersamamu
itu!!! Sebaiknya kau menjenguk Ummamu, hari ini dia masuk rumah sakit
karena serangan jantung. Mianhae Jae, Ahjussi tidak bisa menyembunyikan
kasus ini semuanya. Dia melihat foto-fotonya dari cuplikan situs itu.
Appamu akan kemari sore nanti."
Semua menjadi keruh. Keruh, sekeruh-keruhnya pikiranku. Noda, senoda-nodanya aku. Meskipun aku tidak melakukan 'itu'
"Umma....
aniyo Umma, bukan film. Joongie tidak main film porno, Umma....
Hiks...hiks... Joongie tidak main film... huhuhuhu... Tidak Umma...
UMMAAAA..."
"Film itu...hhh... Joongie..."
"Joongie
tidak main film, Umma.... Tidak... Joongie kena situs, Umma.... di
situs, bukan di film.... huhuhu... Joongie minta maaf, Umma. Joongie
janji akan menuruti semua kata Umma, Joongie janji, Umma...huhuhuhu...
janji..."
"Hhhh..... mengapa film..."
"ANDWAE!!!
Joongie tidak mau pergi!!! SHIREO!!! Lepaskan!!! Lepaskaaan!!! Joongie
mau lihat Umma!!! Joongie mau menemani Umma..!!! Lepaskan!!! AAARGH!!!
LEPASKAAAAN!!!'''
"Ahjussi sudah mengurus
semuanya! Kau tinggal berangkat sekarang juga! Jangan kembali sebelum
semuanya reda. Keluarga Kim sedang disorot! Satu lagi pesan Ahjussi,
JANGAN BERHUBUNGAN DENGAN RAKYAT JELATA LAGI!!"
"Joongie... Maafkan Appa...hhh... Ummamu... Dia sudah damai di sisiNYA."
Kata orang, aku adalah pembunuh. ANI, Aku bukan pembunuh!! Tapi, mereka bilang aku penyebab kematian Umma. Aku membunuh Umma. Tidak. Aku tidak pernah membunuh Ummaku sendiri!!
Lalu aku hanya mendengar ceritanya. Aku bahkan tidak mengantar Umma ke peristirahatan terakhir. Aku tidak melihat detik-detik terakhirnya. Aku tidak melihat nisannya. Aku tidak melihat apa-apa.
Sejak detik itu, aku tidak pernah pulang. Aku tak ingin pulang. Aku hanya akan pulang untuk menuntut balas. Hutang nyawa bayar nyawa! Aku tak percaya siapapun juga!
Tidak yang hidup! Tidak juga yang berkuasa!
"Tuan, Tuan muda... sudah malam. Bangun Tuan muda! Sudah malam... Tuan muda Jae...."
Jaejoong pov End
______####______
Setibanya di rumah, Jaejoong melihat Young Min duduk di beranda. Namja paruh baya dengan perawakan tinggi, tegap dan tampak berwibawa.
"Welcome home, jaejoong. Baru pulang dari pemakaman?" Jaejoong membuang muka. "Anak keras kepala, sifatmu semakin jelek saja."
"Aku lelah dan mau tidur. Apa yang kau lakukan di sini?"
"Panggil Ahjussi, Jae! Orang tuamu tidak mendidikmu untuk menjadi anak yang tidak tahu sopan santun. Apalagi Ahjussi."
Jaejoong tidak peduli, ia masuk ke dalam rumah yang langsung disambut beberapa maid.
"Apa mereka sudah pergi?" Pelayan yang ditanya tidak berani menjawab.
"Ahjussi tidak mengizinkannya pergi, Jae." Jaejoong menoleh.
"Tidak? Wae?" Young Min menggeleng.
"Mereka saudaramu. Appamu menikahi ibunya dua tahun yang lalu, jadi dia berhak tinggal di sini. Kau juga harus memanggil ibunya, Umma."
"Aku bilang usir mereka dari rumahku!!"
"Ahjussi yang mengurus semua yang ada di sini dan memastikan semuanya berjalan dengan baik! Ahjussi bahkan harus mengurus keponakan bandel yang kurang ajar, sombong dan angkuh! Ahjussi tidak mendapatkan keuntungan apa-apa, Jae. Tidak, kecuali pandangan sinis dan sikap tanpa sopan santunmu!"
"Ahjussi tidak perlu repot-repot mengurusku! Sekarang Ahjussi boleh mengurus keluarga Ahjussi sendiri karena aku sudah pulang! Semua yang ada di sini adalah urusanku!!" Jaejoong tak mau kalah. "Oops! Aku lupa Ahjussi tak punya keluarga." Jaejoong pura-pura polos.
"Jaejoong!! Ahjussi tidak mendidikmu untuk tidak sopan terhadap orang tua!"
"Dari dulu aku tidak pernah menyuruhmu untuk mencampuri urusanku! Aku bisa mengurus diriku sendiri!
"Mengurus dirimu sendiri? Lihat apa yang telah kau lakukan pada dirimu sendiri! Jika bukan karena Ahjussi, kau sudah terkurung di pusat rehabilitasi itu, bahkan saat ini pun kau belum boleh keluar! Kau sudah hancur! Semua tulang yang ada di tubuhmu sekarang sudah tak layak pakai dan juga di setiap tubuhmu tertanam baut. Mau jadi apa kau?! Kau pikir bertindak seenaknya itu hebat? Kau adalah pewaris tunggal keluarga Kim! Jika kau tidak bisa menjaga citra dirimu, keluarga ini akan tamat riwayatnya di tanganmu!!"
"Keturanan Kim bukanlah suatu kebanggaan bagiku! Aku ingin menjadi apa yang aku inginkan!" seru Jaejoong tak mau kalah.
"Menjadi manusia tak berguna? Peminum, pemabuk, balapan liar seperti hantu jalanan, lalu mati di usia 22 tahun? Kau pikir kebodohan yang kau lakukan itu sanggup membuatmu hidup hingga hari ini? Jika bukan karena Ahjussi, kau sudah lama mati menyusul Ummamu!!"
"JANGAN BAWA- BAWA UMMAKU!!!" bentak Jaejoong marah. Young Min menarik napas panjang.
"Ummamu pasti kecewa karena kau sama sekali tidak menggunakan otakmu dalam bertindak." Young Min menuju serambi, " Pikirkan dengan otakmu, rasakan dengan hatimu. Jangan menuruti emosi. Jangan mengikuti ego. Jika kau ikuti semua itu, Kau tidak akan merasa damai seumur hidupmu. Ahjussi akan datang lagi besok. Istirahatlah!"
Jaejoong terdiam, 'Tanpa dia, mungkin aku sudah lama mati. Tapi aku tidak membutuhkannya lagi!!'
________#####_______
Jaejoong menunggu lift, ketika pintu lift terbuka dan keluarlah Taecyeon and the gank. Mereka saling menatap. Wajah kaget mereka tidak dapat disembunyikan begitu melihat Jaejoong.
"Jaejoong..??" gumam Taecyeon. "Jae! Lama tidak bertemu, apa kabar?" senyum Taecyeon menutupi rasa kagetnya, ia mencoba bersikap hangat sambil mengulurkan tangannya. Jaejoong tidak menggubrisnya.
Melihat aura suram,... anak-anak gank itu meninggalkan Taecyeon berdua dengan Jaejoong. Alasan mereka adalah untuk memberi mereka privasi, atau mungkin karena errr.... takut.
"Tadinya aku tidak percaya kalau kau di sini, ternyata berita itu benar. Kapan kau kembali, Jae?" basa-basi Taecyeon.
"Aku sama sekali tak berminat bertegur sapa dengan orang-orang sepertimu, karena orang-orang sepertimu hanya datang untuk mengambil keuntungan dari penderitaan seseorang. Sungguh tak pantas diberi muka." Taecyeon melongo. Spechless.
TING!!!
Pintu lift terbuka, Jaejoong beranjak masuk.
"Satu lagi, Kau sungguh sial kali ini karena bertemu denganku!"
________#####_______
Jaejoong menaiki serambi depan, tertegun sejenak ketika Karam keluar dari rumah dengan seorang namja. Mereka bertatapan sebentar. Jaejoong menatap tajam tak suka.
"Eh, kenalkan ini.... Jay," kata Karam, "Jay, ini Jaejoong."
Jay mengulurkan tangannya, tapi Jaejoong tak membalasnya.
"Aku akan keluar, Jae." Karam buru-buru menarik lengan Jay.
"Aku tidak suka ada orang baru yang berlalu-lalang di rumahku!"
"Jay hanya menjemputku, Jae. Apa itu tidak boleh?"
"Bukan urusanku!" Karam mulai kesal. "Jangan datang lagi!" tegas Jaejoong tak ingin dibantah.
"Kau keterlaluan! Dia hanya datang menjemputku! Apa itu tidak boleh??" Jaejoong tak peduli. "Dia tamuku! Aku juga berhak atas rumah ini!!"
"Ulangi sekali lagi kalimat terakhir!!" Jaejoong menghampiri Karam.
"Jaejoong, sudahlah. Tak perlu bertengkar di sini," lerai Jay.
"Jangan ikut campur!" bentak Jaejoong.
Beberapa maid berhamburan keluar, memandang mereka dengan wajah khawatir.
"Tuan muda... Tuan Jaejoong jangan bertengkar, Tuan....," lerai Min Hye ajumma, kepala maid.
"Ulang sekali lagi apa yang baru saja kau katakan! Katakan sekali lagi kalau kau berhak atas rumah ini!! Dasar tak punya malu! Kau hanya menumpang di sini, atas jasa Ummamu yang merayu Appaku, ARA!!! Dasar parasit!!"
"Kau yang brengs*k!! Kau tidak mengakui pernikahan Ummaku yang telah dijerat Appamu!!" Kali ini Karam menantangnya.
"Kau dan Ummamu telah menghancurkan keluargaku!!! Seharusnya kubunuh kalian dari dari dulu!! DASAR MANUSIA RENDAH!!!"
"Appamu yang merengek-rengek pada Ummaku!! Kau pikir hanya keluarga ini yang hebat? Kaya? Kalau bukan karena Appamu, Ummaku juga akan menikah dengan orang yang tak kalah hebat dengan Appamu!!"
"Kau pikir kau juga hebat, huh!! Karam, aku daftar setumpuk kejelekanmu dan Ummamu, tak perlu akting di depanku!!"
"Perlihatkan ke Appamu, supaya penyakitnya kambuh!!" tantang Karam geram. "Kau lebih brengs*k, Jae! Aku memang bebas! Suka cafe, gila diskotik, hobi mabuk, teler! Tapi AKU TIDAK MEMBUNUH UMMAKU SENDIRI!!!!
BUUUGGH..!!!
Kemarahan Jaejoong dilepaskan ke Jay. Ia terhuyung ke belakang sambil memegangi pipinya yang terasa panas.
"Uuuggh..." erangnya kesakitan.
"Brengs*k kau, Jae!" maki Karam sambil memegang kekasihnya.
"JANGAN SEBUT-SEBUT UMMAKU!" bentak Jaejoong marah. "PERGI KALIAN!!"
Meskipun kesal, Karam dan Jay berlalu. Terdengar berbagai sumpah serapah yang Karam tujukan kepada Jaejoong.
Jaejoong mengepalkan tangannya, jari jemarinya saling beradu. Ia marah, sangat marah. Satu hal yang sangat sensitif jika seseorang menyangkutkan dengan Ummanya dan juga masa lalunya.
"Mana Rain?!" tanya Jaejoong pada maid.
"Per-gi, Tuan muda.... belum pulang," jawab maid itu dengan takut-takut.
"Suruh ke kamarku nanti!!"
_________#####_________
"Bagaimana perkembangan situsku?" tanya Jaejoong pada Rain, ia sedang duduk di serambi kamarnya yang menghadap taman.
"Sudah siap, Tuan muda Jaejoong. Tinggal menunggu perintah dari Anda, maka akan saya publish."
"Publish besok. Kabari aku kalau kuliah yang sebenarnya sudah dimulai. Ahhh... satu lagi, aku ingin sekelas dengan anak yang bernama Junsu. Atur semuanya, pastikan semua perkuliahanku sama dengannya."
"Junsu? Maaf Tuan muda, apa ada nama lengkapnya?"
"Hanya itu. Ehm, dia anak baru juga, untuk ukuran namja dia lumayan eeerr... imut." Jaejoong mengatakan 'imut' dengan amat lirih.
Rain menarik ujung bibirnya. Heran sekaligus senang mendengar majikannya berani memuji orang.
"Aku juga ingin data-datanya."
"Baik Tuan muda. Ada hal lain yang perlu saya selidiki?"
"Tidak. Aku hanya perlu data-data namja itu. Kau boleh pergi."
Rain mengangguk dan segera berlalu. Jaejoong menegak minuman dinginnya, wajahnya terlihat amat senang.
'Situs.... Aku tak sabar ingin melihat reaksinya...'
Jaejoong kembali tersenyum penuh arti. Entah apa yang ia pikirkan. Hanya dia yang tahu.
TBC...
.
0 komentar:
Posting Komentar