Genre: Gore, violence, shonen, & death chara.
Writter: DadonkELF
WARNING: Typos, missing letter, spasi & word, bad, ect.
"HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH TUHAN YME!"
Ningyo no Aki
Di
malam yang gelap itu, kekuatan cahaya bulan mampu menerobos celah-celah
pepohonan yang rimbun. Hembusan angin yang mematahkan dedaunan tua dari
batangnya seakan menjadi tanda bahaya jika berada di tempat itu, hutan
yang jauh dari kata keramaian. Namun, tidak bagi pemuda manis itu. Ia
berjalan santai di antara tumpukkan dedaunan yang telah gugur. Senyum
manis di bibirnya yang memperlihatkan sepasang lesung pipi, menjadi
tanda bahwa ia sedang bahagia. Kedua onyx yang mengkilat,
memancarkan rasa senang, puas, sekaligus tatapan membunuh. Ia tidak
peduli lagi dengan suara berisik dari langkahnya karena menginjak
dedaunan dan ranting-ranting kering, serta suara-suara binatang nocturnal yang mulai menunjukkan keberadaannya.
Pemuda
itu terus berjalan menuju sebuah bangunan tua yang tampak berlumut,
kumuh, dan gelap. Pintu pagarnya tampak berkarat dan nyaris roboh.
Ilalang dan tanaman-tanaman liar mulai menguasai tempat itu. Aroma lembab
yang menggelitik indera penciuman menjadi label bahwa tempat itu telah lama
terabaikan. Beberapa hewan malam yang menjadi icon batman
terlihat berterbangan di sekitar rumah yang membuat aura mistik semakin
mencekam. Bangunan bercat putih yang di beberapa sudut sudah terkelupas
catnya sehingga memperlihatkan susunan batu bata itu seperti memanggil
sang pemuda agar cepat-cepat menghampiri singgasananya. Ayunan langkah
kaki jenjang sang pemuda bergerak semakin cepat, meski sedikit
terseok-seok karena beban yang ia bawa.
Seulas
seringai misterius tercetak di bibir pemuda yang sedang menoleh ke
belakang, tertuju pada sesuatu yang ia bawa di tangan kirinya, seorang
gadis belia yang terkapar tidak berdaya dengan mata terpejam. Tanpa rasa
kasihan, pemuda berambut dark brown itu terus menyeret kaki
kanan sang gadis, membuat rambut panjang berwarna madu sang gadis
tersangkut di antara rimbunnya ilalang yang tumbuh subur. Meskipun
begitu, sang gadis yang tidak sadarkan diri itu tetap tidak bereaksi.
“Tadaima,” ucap
sang pemuda ketika membuka pintu kayu berukiran ular naga. Masih dengan
menyeret kaki sang gadis, pemuda itu menyalakan lampu. Bias cahaya dari
lampu kristal yang tergantung di tengah ruangan memperlihatkan
pemandangan yang sesungguhnya. Pemandangan yang sangat berbanding
terbalik dari luar rumah.
Ruang utama yang
tampak luas sejauh mata memandang itu berkilau indah karena efek warna
emas di setiap perabotannya. Empat lampu kristal yang menggantung kokoh
di tengah ruangan membiaskan cahaya ke setiap sudut. Setelah menjatuhkan
kaki sang gadis dengan kasar, pemuda itu berjalan melewati koridor
menuju salah satu ruangan outdoor di belakang ruang utama. Kedua manik segelap malam milik pemuda menelusuri sebuah taman bunga lily of the valley yang berada di tengah kolam ikan berdiameter 3 meter.
“Aishiteru, Danna.” Seulas senyum miris terukir di bibir merah pemuda berambut brunette
coklat tua itu. Tangan kanan pemuda yang ia celupkan ke air terayun
lembut, membuat pantulan wajahnya yang semula terlihat jelas, kini
hancur tergantikan dengan ombak-ombak kecil.
***
.: Flashback .:
SMA
Meirin, sebuah lembaga pendidikan milik swasta yang berada di Osaka,
Jepang. Tidak seperti sekolah-sekolah menengah atas lainnya, Meirin
menyediakan jurusan khusus bagi mereka yang memang memiliki bakat dan
minat. Dengan lebih mengunggulkan jurusan kesenian, Meirin menjadi
sekolah favorit yang menjadi incaran calon-calon pelajar. Karena membuka
jurusan kesenian, masalah peraturan dalam hal fashion adalah
hal nomor satu yang diinginkan para pelajarnya. Mereka yang masuk
sekolah tersebut bebas berkreasi dalam penampilannya. Memang tetap
berseragam, namun tatanan rambut, aksesoris, dan juga bentuk seragam
tidak diatur oleh pihak sekolah. Berbeda dengan para pelajar SMA yang
ada digedung seberang jurusan kesenian.
Siang
itu, cuaca sudah tidak lagi panas. Hembusan angin yang membawa aroma
sejuk menjadi tanda bahwa musim panas telah berlalu dan tergantikan
dengan musim gugur. Daun-daun momiji yang mulai berguguran
menjadi nilai seni alam yang memanjakan setiap pasang mata. Seperti
biasanya jika musim gugur tiba, selalu ada festival untuk menyambut
musim baru. Tiga hari lagi tepat di akhir pekan, sekolah Meirin
mengadakan acara festival sebelum hari Ekuinoks Musim Gugur.
“Sudah ada rencana untuk Ekuinoks?
Hhhff …” Suara helaan nafas keluar dari bibir mungil milik sang pemuda
manis. “Sepertinya liburan kali ini akan kuhabiskan bersama
patung-patung yang tidak jelas bentuknya itu. Ck, mendokusai ... Tolong, ingatkan kenapa aku masuk jurusan seni rupa, Ryuu.”
Pemuda
yang bernama Ryuuta itu melirik sebentar ke wajah putih Rei. Tanpa
menghentikan aktivitasnya menanam rumput Susuki, rumput khas musim
gugur, Ryuuta menjawab, “Kau pura-pura lupa atau memang bodoh, eh?” ejek
Ryuuta disertai seringai nakal yang muncul di ujung bibirnya.
“Hei,
hei, kau tidak perlu berkata jujur seperti itu, kan? Tanpa kau bilang,
aku juga tahu itu. Dasar, tuan sok pintar! Aku masuk ke sekolah ini
karena peraturannya yang menyenangkan ini,” kata pemuda berambut blonde, diiringi
suara tawa. “Tidak sia-sia aku menyerahkan boneka lilin buatan adikku.
Kau tahu, butuh perjuangan saat aku meminjamnya,” lanjutnya sembari
mengingat saat pendaftaran masuk, dimana salah satu persyaratannya harus
membawa suatu karya tiga dimensi.
“Bilang saja kau mencurinya,” balas pemuda berambut hitam, Ryuuta.
Rei, pemuda berambut blonde itu terkekeh. “Ya, kau benar. Hei, kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Ryuu. Apa yang akan kau lakukan di hari Ekuinoks?” Rei berhenti membuat lubang untuk menanam rumput. Ia menoleh, menatap pemuda maskulin di sampingnya dengan alis yang bertaut.
“Entahlah. Tapi kalau hanya diam di rumah, pasti akan membosankan. Kau?”
“Ah, kalau begitu, bagaimana jika kau menemaniku?”
Ryuuta
mengernyitkan dahinya sembari menatap teman kecilnya yang kini tampak
senang dengan kedua mata yang membulat. “Ke mana? Jangan bilang hanya ke
game online.”
“Tidak, tidak. Aku ingin ke galeri boneka yang baru saja dibuka di ujung jalan sana. Kau tahu, kan?” tanya Rei.
Ryuuta mengangguk. “Heh, sejak kapan kau jadi tertarik dengan boneka?”
“Ck,
aku hanya penasaran dengan galeri baru itu. Ingat, aku tidak tertarik
dengan seni rupa apapun, Ryuu.” Rei yang semula melubangi tanah dengan
berdiri, sekarang berjongkok untuk membantu Ryuuta menanam rumput
Susuki. “Alasanku masuk sini karena hanya sekolah ini yang membebaskan style murid-muridnya.”
Ryuuta tahu kalau temannya itu tidak suka diatur. Tidak heran jika Rei mati-matian belajar seni agar bisa masuk sekolah itu.
“Kau mau, kan?”
“Hn,” jawab singkat Ryuuta.
“Kalau
begitu, aku tunggu di depan gerbang utama setelah festival selesai,
oke? Kau sudah berjanji, Ryuu.” Rei tersenyum senang, menampakkan eye-smile miliknya yang lucu.
Meskipun
matahari telah merambat menuju titik teratas, murid-murid Meirin masih
saja sibuk dengan kegiatan menyambut festival musim gugur. Persiapan
yang rutin diadakan jika menjelang festival. Mereka semua sibuk
membersihkan halaman, kelas, lapangan, taman, menghiasi ruang kelas,
membuat stand-stand, dan masih banyak lagi.
Ryuuta
Serizawa dan Rei Natsuya adalah teman sejak kecil. Entah memang jodoh
(?) atau malah kesialan—kata Ryuuta—mereka terus sekelas semenjak SD.
Ryuuta yang memang menyukai seni pahat menjadikan alasan kenapa ia
bersekolah di tempat itu. Berbeda dengan temannya yang menjadikan
‘kebebasan’ sebagai motif untuk masuk ke sekolah itu. Tahun ini adalah
tahun terakhir mereka menjadi murid Meirin setelah tiga tahun mereka
mengenyam pendidikan seni di tempat tersebut.
“Ryuu …” panggil Rei pelan tanpa menoleh ke arah temannya.
“Hm?”
“Tidak. Tidak apa-apa.” Rei kembali menekan-nekan tanah, memadatkannya agar rumput hias itu tidak mudah terlepas. Namun, ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak baik-baik saja. Sepertinya, ada yang ingin ia sampaikan pada Ryuuta.
Ryuuta
terdiam. Ia tahu kalau ada yang ingin Rei bicarakan. Tapi, bukan gaya
Ryuuta jika memaksa Rei. Ia tahu, jika ada sesuatu dengan pemuda yang
lebih pendek dari Ryuuta, cepat atau lambat Rei akan menceritakan
padanya. Ryuuta tahu betul sifat Rei. Untuk orang yang kelebihan energi
seperti Rei, tidak mungkin ia bisa berdiam diri dalam waktu yang lama.
“Ryuuta-kun!” teriak seorang sembari berlari ke arah Ryuuta dan Rei. Dari suaranya, kedua pemuda itu tahu siapa yang akan datang.
Rei
yang pertama menoleh dan mendapati seorang gadis berlari ke arahnya.
Helaian rambut ikal panjangnya yang berwarna madu tampak berkibar
tertiup angin. Dengan senyum senang yang terukir di bibir merahnya,
gadis itu mulai mendekati Ryuuta yang masih sibuk dengan kegiatannya dan
mengabaikan kehadiran seseorang yang pernah menyatakan cinta pada
Ryuuta.
“Yare-yare, sudah kubilang jangan mendekati anak ini lagi, kan, Akira-chan.
Aku cemburu, kau tahu?” Rei mengkerucutkan bibirnya, sebal. Sedangkan
Ryuuta yang mendengar ucapan Rei, hanya diam. Ingat? teman Ryuuta itu
suka bicara seenaknya. Tidak mungkin Rei suka pada gadis yang bahkan
sudah dianggap musuhnya itu.
Akira, gadis
cantik anak pemilik yayasan sekolah itu memasang wajah jutek. “Maaf
saja, aku tidak tertarik padamu, Rambut Nanas,” ejeknya sambil
mengacak-acak kasar rambut blonde milik Rei.
“Yak! Berhenti merusak tatanan mahkotaku, Aki-chan.”
Rei menampik tangan putih Akira, membuat sang pemilik tangan mendengus.
“Aku pergi saja. Selesaikan sendiri ya, Ryuu. Hati-hati dengan
pengganggu itu, jaa.” Setelah menepuk-nepuk celananya, Rei
langsung berlari menjauh, membuat Ryuuta yang dari tadi sibuk dengan
tatanan rumput yang ia tanam, mengalihkan obsidian tajamnya menatap punggung Rei yang semakin menjauh.
“Boleh aku membantumu?” tanya gadis itu sembari di hadapan Ryuuta dengan kedua manik emerald—efek soft lense yang ia gunakan—yang membulat penuh harap.
Ryuuta
menghentikan gerakan tangannya. Ia menatap gadis itu tanpa
berkata-kata. Saling menatap dalam diam dengan jarak yang kurang dari satu meter, membuat kedua pipi Akira memanas. Cepat-cepat Akira menundukkan wajahnya. Ia tidak pernah bisa menampik pesona obsidian tajam milik Ryuuta.
“Tolong ya …” ucap Ryuuta pelan.
“Eh?” Akira mengernyitkan alisnya sembari kembali menatap pantulan dirinya di mata Ryuuta.
Ryuuta tersenyum, lalu menjawab, “Tolong bantu aku.”
Raut
wajah bingung Akira berganti dengan senyum cerah yang terukir di
lengkungan indah miliknya. Melihat senyum mempesona dari
pangerannya,membuat perut Akira seperti dikerubungi ribuan kupu-kupu. “Hai,” jawabnya senang. Dengan begini, ia bisa berduaan dengan pemuda yang sudah lama ia sukai itu. Lovey dovey-nya yang sudah dua tahun ini membuatnya insomnia.
***
Seorang
gadis cantik berjalan di koridor kelas dengan senandung kecil yang
keluar dari bibir merah merekahnya. Sesekali ia membalas sapaan
teman-temannya. Hari ini ia sangat senang. Setelah dua tahun berusaha
mencuri hati pemuda tampan bernama Ryuuta, sekarang usaha yang ia
lancarkan itu semakin membuahkan hasil. Sikap dingin yang dulu sering ia
terima dari Ryuuta, sekarang—gunung es itu—mulai mencair. Subuah
harapan baru muncul kembali setelah sempat membuatnya frustasi.
Akira
berdiri tepat di depan lokernya dengan wajah menegang. Satu hal yang
sudah menjadi kebiasaannya selama dua minggu terakhir ini ketika ia
hendak membuka loker besi miliknya. Senyum manis yang tadi terbentuk
dibibirnya, kini berubah menjadi getaran halus. Akira menggigit bibir
bawahnya, gelisah. Dengan degupan jantung yang berdetak lebih cepat dari
normalnya, ia mulai menyentuh kunci loker dengan bandul huruf 'SR'. Ia
ragu untuk membukanya, namun juga penasaran.
“Semoga kali ini tidak ada.”
Dengan penuh kewaspadaan tingkat tinggi, Akira menarik pintu loker itu
perlahan. Setelah berdiam diri cukup lama, Akira mengumpulkan
keberaniaannya. Sedikit demi sedikit kedua emerald yang tadi
tersembunyi di balik kelopak mata Akira, terbuka. Untuk sesaat ia
menahan nafasnya, namun setelah sadar dengan keberadaan sesuatu yang
ditakuti Akira itu tidak ada, ia membuang nafasnya dengan lega.
“Haaaahhhhfff
…” desah Akira sambil mengelus lembut dadanya. Kemudian ia mengambil
sesuatu berwarna putih yang juga menjadi benda misterius untuknya. Corsage bunga Lily of the valley,
bunga lili berukuran sangat kecil, berwarna putih, dan berbentuk
menyerupai lonceng yang menggantung di setiap tangkainya. Akira mencabut
sobekan kertas kecil yang terselip di antara kumpulan bunganya. Huruf
kapital ‘R’ berwarna kuning menjadi inisial sang pengirim. Tidak heran
kenapa yang ia dapatkan hanya bunga palsunya. Bukan karena sang pengirim
misterius itu pelit. Tetapi karena lily of the valley adalah bunga musim semi yang biasa tumbuh di bulan Mei, sehingga mustahil ditemukan di musim gugur ini.
“Aki-chan,
kau menjatuhkan ini.” Suara seorang gadis di sebelah loker Akira
membuyarkan lamunannya. Gadis itu menyodorkan selembar foto pada Akira.
Dengan terpaksa senyum, Akira mengambil foto itu. “Sankyu, ne.” Gadis itu tersenyum membalas ucapan Akira, kemudian beranjak pergi.
Inilah yang ditakuti Akira. Ia heran dengan dua benda tersebut yang kemunculannya selalu bersamaan. Setangkai corsage
bunga lily dan selembar foto boneka perempuan berambut cokelat tua yang
bertuliskan nama Akira. Namun yang membuatnya takut adalah gambar
boneka itu yang bermandikan cairan merah yang ia yakini menandakan
darah, ancaman pembunuhan, atau mungkin sebuah candaan. Di balik foto
itu selalu ada kata-kata peringatan yang berbunyi, “Jauhi dia atau kau
jadi milikku!” dan tertanda ‘N’ di sudut bawah foto itu.
“R. Mungkinkah Ryuuta-kun?” gumamnya tak yakin ketika melihat inisial yang ada di corsage-nya dan mengabaikan foto yang ia pegang. “Kalau memang dari dia, aku rela diteror seumur hidupku, hahaha …” tawanya dengan background gelembung-gelembung berbentuk hati.
Tidak
ingin berlama-lama berada di tempat itu, Akira memutuskan untuk kembali
ke kelas. Ia perlu bertanya pada teman-temannya yang selama ini
membantu menyelidiki siapa pengirim itu.
“Lihat!” suruh Akira, menyerahkan selembar foto dan corsage yang
dapatkan tadi kepada teman-temannya yang sedang sibuk mengobrol.
Kemudian, gadis bermata bulat itu mengambil posisi di salah satu bangku
yang kosong di samping gadis berambut hitam pendek yang sedang asyik
dengan rajutan sarung tangannya, Fuyuki nama gadis yang paling pendiam
di antara mereka berempat.
“Kau mendapatkannya lagi, Hime? Sudah yang berapa kali?”
“Astaga, laporkan saja ke polisi. Ini teror namanya. Tidak sulit untuk mumelakukan itu. Kau kan pemilik sekolahan ini.”
“Apa kau tidak mengunci lokermu, Hime?”
Akira
yang menenggelamkan wajahnya di atas meja hanya menjawab semua
pertanyaan temannya dengan sebuah gelengan kepala. “Tidak semudah itu
untuk melaporkannya,” jelas Akira setelah mengangkat wajah cantiknya.
“Itu hanya akan membuat berita heboh di sekolah ini. Lagi pula, siapa
tahu itu dari salah satu secret admirer-ku. Mungkin kerena dia
pemalu, dengan cara ini dia mencari perhatianku. Karena itulah, aku
tidak terlalu cemas. Kalian tahu, ini yang namanya resiko jadi orang
cantik. Aku baru tahu kalau kecantikan itu sebuah dosa. Apa ini kutukan,
ya?” Akira yang semula tampak kusut, kini berbinar-binar ketika
memvonis kecantikan dirinya. Semburat kemerahan di kedua pipi Akira
menandakan bahwa ia mengatakannya dengan malu-malu, sebuah alibi untuk
menutupi kekhawatirannya.
Mendengar pidato panjang yang menjadi kebiasaan sang Hime,
membuat ketiga teman Akira hanya bisa mendengus. Berteman selama tiga
tahun, membuat mereka hafal satu sama lain sifat masing-masing. Akira
gadis cantik, baik, suka bercanda, disukai banyak orang, dan juga gadis
idaman semua murid laki-laki itu memang paling suka memuji dirinya
sendiri.
“Lily of the valley, bunga
paling indah dalam keluarga lily yang tumbuh hanya di musim semi pada
bulan Mei. Digunakan untuk keperluan pengobatan karena dapat mencegah
racun, kerusakan hati, dan epilepsy. Tapi juga bisa menjadi shinigami
jika dikonsumsi berlebihan. Karena itu, bunga ini lebih banyak
dijadikan parfum karena wangi khasnya. Lily lembah diartikan sebagai
lambang kemurnian, kesederhanaan hati, juga dipercaya pembawa
keberuntungan,” jelas seorang gadis berambut panjang sepinggang berwarna
dark brown, Maaya sembari memutar-mutar tangkai corsage bunga lily itu.
Penjelasan
yang tiba-tiba terlontar dari bibir gadis berkulit pucat yang dikenal
teman-temannya sebagai ‘Putri Tidur’ membuat tiga pasang mata menatap
Maaya dengan tanda tanya besar yang menggantung di atas kepala mereka.
“Kau? Dari mana kau tahu itu? Dan … sejak kapan kau belajar pengetahuan herbology?”
tanya Fuyuki kepada gadis penyuka dunia musik, Maaya. Kedua alis Fuyuki
yang terbentuk rapi menukik dan hampir saling bertaut.
“Ini.” Maaya menunjukkan ponsel miliknya dimana situs yang ia buka adalah google.
Fuyuki memasang wajah lega dan menjawab, “Ck, pantas saja. Aku kira kau sakit, mendadak pintar begitu.”
“Dari sini ada dua kesimpulan, Hime. Dengar!” Ketiga teman Maaya tampak serius memperhatikan penjelasannya. “Pertama, bisa jadi ini dari fans-mu,
karena arti bunga ini yang melambangkan ketulusan. Kedua, mungkin dan
semoga tidak, ini dari orang yang membencimu. Ingat! Bunga ini
mengandung racun.”
Akira meneguk ludahnya, cemas. Benar juga yang dikatakan Maaya. “Lalu, bagaimana dengan fotonya?”
Gelengan kepala dari mereka bertiga—teman Akira—menjadi jawaban dari pertanyaan yang membingungkan, membuat Akira kembali cemas.
“Akira-chan, uhmm … apa kau tidak merasa aneh dengannya? Laki-laki di pojok sana, yang berambut brunette perak itu?” tanya Hana, siswi yang tidak banyak bicara. “Jangan menoleh! Cukup melirik saja.”
Akira yang keheranan hanya bisa diam dan mematuhi ucapan temannya. Dengan ekor mata emerald-nya,
Akira melirik pemuda yang dimaksudkan oleh Hana. Remaja laki-laki yang
sudah hampir tiga tahun sekelas dengannya, namun belum pernah sekalipun
ia mengobrol lebih dari satu kalimat. Pemuda berambut perak, berkulit
pucat, dengan sepasang amethyst—ungu mengkilat— menawannya itu tampak berkonsentrasi penuh pada sebuah miniatur yang berdiri di mejanya.
“Kenapa dengannya?” tanya Maaya.
“Aku sering sekali memergoki dia sedang menatap ke arahmu. Dari tatapannya itu, seperti dia ingin menelanjangimu, Akira-chan.” Hana menepuk punggung tangan Akira, memberi tanda agar Akira berhenti memperhatikan pemuda ber-soft lense minus itu.
“Ah!” pekik Fuyuki. “Sepertinya dia menyukaimu, Hime. Ingat saat kau bertemu di perpustakaan dan kalian saling bertabrakan? Lalu saat kita ke kantin, dia menjatuhkan botol soft drink-nya
di sebelahmu, setelah itu di parkiran kita juga bertemu dengannya lagi.
Kalau direnungkan lagi, baru akhir-akhir ini kita sering bertatap muka
dengannya. Dia yang selama ini tidak pernah bergaul dengan siapapun dan
pasti selalu menghilang ketika di luar jam kelas, bukankah itu aneh?”
Fuyuki menjelaskan perkiraannya disertai melebarnya sepasang mata yang
mirip hazel milik Fuyuki.
Kata-kata Fuyuki
mengantarkan gelombang-gelombang elektromagnetik yang mempompa otak,
menyuruh mereka untuk segera mencerna dan menghubungkan
serpihan-serpihan memori tentang seorang pemuda yang menjadi topik
pembicaraan mereka. Gerombolan gadis yang duduk saling berhadapan itu
terdiam sembari menatap punggung pemuda misterius yang bahkan namanya
saja tidak mereka ingat dengan benar. Tidak ada di antara mereka yang
mengetahui sosok pemuda itu, sehingga informasi yang mereka dapatkan pun
tidak bisa memenuhi ruang kosong pecahan-pecahan puzzle yang mereka
cari.
Srakk!
Suara yang sedikit
menyakitkan telinga itu berasal dari gesekkan kaki kursi dan lantai,
membuat puluhan mata yang ada di ruang kelas mengalihkan pandangannya.
Pemuda yang menjadi hot news keempat remaja cantik itu berdiri
dari tempatnya, lalu menundukkan tubuhnya untuk memungut sesuatu yang
terjatuh dari kantong celananya, sesuatu yang membuat keempat remaja itu
terbelalak tidak percaya. Benda itu, setangkai corsage lily of the valley tergenggam
erat di tangan putih pemiliknya. Sang pemuda berusaha menyembunyikan
benda itu. Masih pada posisi yang sama, pemuda itu menoleh kearah Akira
yang tampak memasang wajah datar.
Gadis
bersurai madu itu terdiam tanpa ekspresi apapun dari paras cantiknya.
Tidak lama, seulas senyum malaikat terpatri di bibir plum Akira. Dengan segera, Akira melangkah untuk menghampiri pemuda itu, membuat ketiga teman Akira menjatuhkan rahangnya, heran.
“Natsuya-kun, benar?”
tanya Akira dengan mengerjapkan kedua mata hijau itu membuatnya tampak
begitu manis dan terlihat polos. Sembari berjongkok di hadapan pemuda
yang dipanggil Natsuya, Akira memasang senyum terbaiknya.
Pemuda
itu tidak langsung menjawab pertanyaan Akira. Ia justru terbengong
dengan wajah keheranannya. Melihat senyum itu, membuat lupa bahwa ia
masih di daratan. Keadaan itu berlanjut sampai beberapa detik ke depan.
Natsuya yang memang mempunyai keterbatasan berinteraksi, tidak peduli
dengan kasak-kusuk yang terdengar ditelinganya. Satu hal yang membuatnya
terfokus adalah seseorang yang sekarang ada di depannya, Akira.
“Yosh! ” Akira memekik penuh semangat setelah menegakkan tubuh rampingnya. “Aku akan mengumumkan sesuatu. Mohon perhatiannya, minna-san. Mulai detik ini, dia adalah kekasihku.” Deklarasi dari seorang anak pemillik yayasan tersebut membuat semua orang yang ada di dalam kelas itu menganga lebar.
Natsuya,
pemuda yang menjadi obyek Akira tidak kalah kaget, namun ia pintar
menyembunyikan ekspresi wajah manisnya. Ia hanya diam mematung sembari
menatap gadis cantik yang sedang memegang bahu Natsuya di sebelahnya
dengan tanda tanya besar.
Akira tersenyum manis,
namun bagi mereka yang peka, dari senyum indahnya itu ada maksud
tersembunyi dan sesuatu itu bukanlah hal bagus. “Uhm … maaf, Natsuya-kun, tapi aku tidak bisa berlama-lama menjadi kekasihmu. Karena itu, sekarang kita putus oke,” ucap Akira dengan polosnya.
Pemuda
bermarga Natsuya yang memang menunggu kalimat kedua tidak kaget. “Apa
maksudmu?” tanya Natsuya singkat dengan nada datar, seperti biasa.
“Bukankah
ini yang kau inginkan? Kau menyukaiku, karena itu kau mengirimiku bunga
lily ini, kan? Baiklah, karena aku sudah mengabulkan keinginanmu meski
hanya beberapa detik, jangan ganggu aku lagi, ne.” Senyum manis masih terpahat di bibir Akira.
Puluhan
pasang mata di dalam kelas menyaksikan pemandangan itu tidak percaya.
Fatamorgana-kah? Mereka tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang gadis
yang biasanya elegan, mampu berkata-kata seperti itu. Tapi, untuk mereka
yang mengenal betul watak sang putri—ketiga teman Akira—itu bukanlah
hal yang mengejutkan. Akira memang selalu frontal, terlebih kepada
seseorang yang tidak ia kenal.
Rui Natsuya—nama
lengkap pemuda itu—nama yang tidak Akira ketahui itu sedikit membulatkan
matanya kerena kaget kepergok oleh Akira. Selama ini, memang benar
dirinya yang mengirimi corsage-corsage itu. Tetapi, alasan Rui
melakukan itu bukanlah seperti apa yang Akira katakan. Bingung
berkata-kata, Rui mengalihkan kedua pasang amethyst-nya ke arah pintu.
“Re– Rei …” gumam Rui
pelan saat melihat pemuda yang berdiri di depan pintu kelas. Tersirat
kekhawatiran yang begitu dalam ketika Rei beranjak pergi dengan ekspresi
wajah datar. Meskipun begitu, Rui sangat mengetahui apa maksud dari
pancaran mata onyx kakaknya, saudara kembar Rui dimana hubungan itu ditutupi duo Natsuya.
“Rei!” teriak pemuda berambut perak sembari mengejar sang kakak, meninggalkan aura ketegangan yang menyerbak di kelasnya.
***
Tiga hari berlalu, meninggalkan kenangan yang menghebohkan antara sang Hime dan Rui. Namun di hari festival ini, terukir sejarah baru antara sang Hime dan pemuda maskulin pemilik obsidian
tajam yang memukau. Mereka berdua resmi menjadi sepasang kekasih pagi
tadi setelah perjuangan panjang sang Hime mencairkan gunung es di hati
Ryuuta.
Sore ini semua murid Meirin sibuk
membereskan properti selama festival. Sepoi angin yang berhembus lembut
menjadi obat alami rasa tidak nyaman karena aroma keringat yang
membasahi kulit dan menerobos keluar dari serat kain. Meskipun wajah
lelah tidak bisa mereka hapus, tawa riang mereka masih terdengar di
sela-sela kegiatan.
“Ryuuta-kun, apa benar kau sudah jadian dengan Akira-chan?” tanya Hana pada pemuda tampan dan maskulin, penasaran.
“Uhm.
Apa kalian tidak suka?” Ryuuta menjawab tanpa menghentikan kegiatannya
membereskan berbagai macam kerajinan tangan bernilai seni tinggi yang
telah dipamerkan di acara festival tadi.
Suara tawa
sungkan keluar dari bibir Hana. “Tentu saja tidak. Kami hanya
memastikannya karena tadi pagi dia heboh sekali ketika bercerita tentang
hal ini.”
“Hmm, ano … apa kau melihat Hime?” tanya Fuyuki malu-malu. “Kami mencarinya sejak tadi.”
“Dia
sedang bicara sesuatu dengan Rei di stand boneka tadi,” jawab Ryuuta
sembari melirik ketiga sahabat dari kekasih barunya, membuat mereka
ber-O ria.
.: Flashback end :.
Laki-laki
itu mulai menyalakan sebuah mesin pemotong yang ada di tangannya.
Dengan mata yang berkilat tajam, ia tersenyum penuh kepuasan seakan
menemukan oasis di tengah Sahara. Ia berjalan menuju mangsanya yang akan
menjadi koleksi dan karya pertama. Dengan hati-hati, ia mendekatkan
mesin pemotong tersebut pada bagian tidak vital sang korban. Mesin
pemotong dengan pisau berigi berbentuk bulat itu kini bersentuhan dengan
permukaan gumpalan daging berkulit putih, membuat cairan berwarna merah
yang ia tunggu-tunggu merembes keluar dan menyembur membasahi lantai,
mengalir deras memasuki rongga-rongga lantai semen yang sudah berlumut.
Mesin itu melesat masuk lebih dalam, memotong apapun yang tersentuh
pisau tajam milik pemuda itu. Cairan merah itu semakin menggila untuk
berebut keluar. Setiap benang-benang sel, otot, pembuluh darah, dan
serat daging tidak ada yang selamat dari beringasnya pisau mesin
tersebut.
Cipratan yang mengenai apapun di
sekitarnya, membuat pemuda manis itu semakin memperdalam mesin
pemotongnya. Aroma anyir yang menguar dari luka yang ia torehkan menjadi
heroin baginya untuk terus mengeluarkan wine merah yang
membanjiri lantai, termasuk tubuhnya. Pemuda itu menghentikan
kegiatannya ketika sayatan melingkar berhasil ia ciptakan. Ia menahan
nafsunya untuk memotong dan mematikan senjata pencabut nyawa miliknya
ketika pisau tajam itu menyentuh benda keras di dalam gumpalan daging yang mengucurkan wine. Dengan sekali hentakkan kuat, pemuda yang bermandikan wine itu melepas tulang engsel sang korban.
Cepat-cepat ia memasangkan sebuah lempengan besi panas yang masih
membara berbentuk setengah bola dengan pengait di permukaan. Potongan
lengan yang berlumuran darah itu kini berhenti mengucurkan darah merah
setelah besi itu terpasang. Aroma anyir pekat yang menyengat indera
penciuman, kini tergantikan dengan aroma hangus dari daging terbakar.
Senyum
membunuh pemuda itu semakin merekah ketika melihat paras korbannya yang
tidak berdaya diperlakukan seperti boneka. Sakit hatinya sekarang
terbayar. Ia kembali memasangkan besi pada lengan kiri untuk
menghentikan pendarahan. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin korban pemuda
itu meregang nyawa sekarang, belum saatnya. Pemuda bermata onyx
itu melakukan hal yang sama pada ketiga bagian yang tersisa, membuat
suara bising dengan mesin pemotongnya yang membuat siapapun bergidik.
Tetapi, tidak untuk pemuda itu. Ia justru menikmati setiap semburan
darah yang mengalir dan terpotongnya serat-serat daging dari ukiran yang
ia ciptakan. Ini adalah seni terindah yang pernah ada.
Setelah
berjam-jam berkutat dengan bonekanya, kini selasai juga. Sekarang hanya
perlu membersihkan dan menunggu sang boneka bangun dari tidurnya, maka
ia siap dengan rencana selanjutnya. Lagi-lagi, senyum penuh kepuasaan
terbentuk di bibirnya. Pemuda itu berdecak kagum pada boneka buatannya
yag telah sempurna dimana setiap potongan-potongan telah ia kaitkan.
***
Seorang pemuda berkulit putih tersenyum manis menunjukkan keindahan dimple-nya. Kedua onyx yang bulat itu tampak menyipit ketika tertawa. Helain rambut brunette-ya
menari-nari terhembas angin malam yang masuk dari jendela. Suara
cekikikan terdengar menggema di sebuah gudang tua, ia begitu senang
memainkan boneka seorang gadis cantik. Tali-tali panjang yang terhubung
dengan sang boneka yang tersemat di jemari pemuda itu bergerak berirama.
“Eunghhhhh …” lenguh seseorang di bawah sana, di lantai satu.
Seorang
gadis yang sudah terbangun dari tidur panjang tampak mengerjapkan mata
hijaunya beberapa kali, berusaha beradaptasi dengan cahaya sekitar.
Setelah beberapa saat tersadar dengan keberadaannya, gadis itu melirik
tangannya bergerak-gerak sendiri di luar kendalinya. Merasa bingung,
gadis itu memperhatikan tubuhnya. Emerald-nya yang telah
meredup itu terbelalak lebar membuat sang putri tercekat. Detak jantung
yang semula berdenyut teratur, kini mendadak berhenti untuk beberapa
saat, lalu berdetak lagi lebih cepat. Dengan nafas yang
tersengal-sengal, gadis itu berusaha berteriak. Namun sekuat apapun ia
berusaha, hal itu sia-sia belaka selama plester yang menutupi mulutnya
tidak lepas.
“Eunghhhh … eunghhh …” Gadis itu
meronta ketakutan. Butiran-butiran kristal mulai membanjiri pipi
putihnya. Sungguh, tidak bisa dipercaya ketika menemukan dirinya telah
menjadi boneka tali. Kedua tangannya yang terpotong di bagian siku dan
pergelangan tangan. Sedangkan kedua kakinya terpotong di bagian lutut
dan pergelangan kaki dimana di setiap potongan saling terkait dengan
besi sebagai engselnya.
“Ohayou, Hime,”
sapa sang pemuda, berjalan mendekati hasil karyanya yang terduduk di
atas kursi kayu. Melihat siapa yang datang, ‘boneka’ itu tampak lebih
kaget dari sebelumnya. Gadis itu meronta-ronta, menyebabkan bagian tubuh
yang telah terpotong bergerak-gerak sendiri.
Rei, nama pemuda itu berkata, “Sebelumnya, terima kasih sudah menjadi modelku, Akira-chan.”
Ia tersenyum senang. “Yah, mau bagaimana lagi, aku sudah berkali-kali
mengingatkanmu lewat foto ini.” Rei menunjukkan selembar foto yang
sangat Akira kenal. “Rui, kembaranku, juga memberi peringatan padamu,
Aki-chan. Dia bahkan sudah tertangkap basah olehmu. Sayang sekali kau tidak mengerti maksudnya. Dengar! Alasan kenapa dia memberimu corsage lily
karena dia tahu kalau aku akan melakukan ini. Aku suka sekali dengan
bunga ini, lily lembah. Dan lihat, inisial yang adikku tulis adalah
huruf R berwarna kuning yang berarti Rei si blonde. Yah, meskipun sekarang rambutku sudah tidak kuning. Tapi aku sengaja menulis dengan inisial ‘N’ untuk Natsuya, Hime. Sekarang kau mengerti, kan?” Penjelasan Rei membuat otak pintar Akira mendadak seperti berkarat.
“Dan
kalau kau ingin tahu alasannya aku melakukan ini ...” tanya Rei sembari
membelai pipi halus Akira. “... Itu karena aku cemburu.” Rei menatap
tajam sepasang emerald Akira. Detik berikutnya, Rei tersenyum. “Astaga, tapi bukan padamu, Hime. Sama seperti adikku yang juga tidak menyukaimu. Karena aku menyukai– ah, tidak, aku mencintai … Ryuu, Ryuuta-danna.”
Sebuah
sengatan listrik berdaya tinggi seakan menghantam Akira, membuat
seluruh otot dan sel-selnya berhenti bekerja ketika mendengar kata-kata
Rei, pemuda yang gadis itu kira menyukai dirinya. Keheningan tercipta di
antara mereka. Hanya suara angin malam yang berhembus dan menggugurkan
daun-daun momiji dari balik jendela yang terdengar di telinga mereka.
***
“Ada kejutan untukmu di toko boneka yang aku katakan kemarin. Selamat menikmati, Ryuuta no danna.”
Suara yang Ryuuta kenal terputus secara sepihak. Padahal, ia ingin
bertanya kemana Rei pergi kemarin setelah acara festival selesai. Ryuuta
mengernyitkan dahinya setelah mendengar kata-kata dari Rei.
“Danna?” gumamnya. Penasaran, Ryuuta pergi ke toko yang dimaksudkan temannya. Kebetulan hari ini libur.
Ryuuta
yang sudah dekat dengan toko yang ia cari, terpaku mendengarkan obrolan
beberapa pengunjung yang keluar dari toko boneka yang menjadi
tujuannya.
“Benar-benar seorang seniman hebat. Boneka itu
seperti manusia sungguhan. Kau menyentuh kulitnya, kan? Cantik, tapi
mata hijaunya terlihat sedih.”
“Ya. Karena itu, siapapun pembuatnya, dia benar-benar orang yang jenius.”
“Kalau tidak salah boneka itu bernama Akira, kan?"
"Ningyo no Aki, boneka musim gugur. Nama yang bagus. Cocok sekali dengan musim gugur ini.”
END
0 komentar:
Posting Komentar