Jumat, 29 November 2013

Fiction// Ningyo no Aki (Boneka Musim Gugur)// Oneshoot

Judul: Ningyo no Aki (Boneka Musim Gugur)
Genre: Gore, violence, shonen, & death chara.
Writter: DadonkELF
WARNING: Typos, missing letter, spasi & word, bad, ect.
"HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH TUHAN YME!"


Ningyo no Aki


Di malam yang gelap itu, kekuatan cahaya bulan mampu menerobos celah-celah pepohonan yang rimbun. Hembusan angin yang mematahkan dedaunan tua dari batangnya seakan menjadi tanda bahaya jika berada di tempat itu, hutan yang jauh dari kata keramaian. Namun, tidak bagi pemuda manis itu. Ia berjalan santai di antara tumpukkan dedaunan yang telah gugur. Senyum manis di bibirnya yang memperlihatkan sepasang lesung pipi, menjadi tanda bahwa ia sedang bahagia. Kedua onyx yang mengkilat, memancarkan rasa senang, puas, sekaligus tatapan membunuh. Ia tidak peduli lagi dengan suara berisik dari langkahnya karena menginjak dedaunan dan ranting-ranting kering, serta suara-suara binatang nocturnal yang mulai menunjukkan keberadaannya.

Pemuda itu terus berjalan menuju sebuah bangunan tua yang tampak berlumut, kumuh, dan gelap. Pintu pagarnya tampak berkarat dan nyaris roboh. Ilalang dan tanaman-tanaman liar mulai menguasai tempat itu. Aroma lembab yang menggelitik indera penciuman menjadi label bahwa tempat itu telah lama terabaikan. Beberapa hewan malam yang menjadi icon batman terlihat berterbangan di sekitar rumah yang membuat aura mistik semakin mencekam. Bangunan bercat putih yang di beberapa sudut sudah terkelupas catnya sehingga memperlihatkan susunan batu bata itu seperti memanggil sang pemuda agar cepat-cepat menghampiri singgasananya. Ayunan langkah kaki jenjang sang pemuda bergerak semakin cepat, meski sedikit terseok-seok karena beban yang ia bawa.

Seulas seringai misterius tercetak di bibir pemuda yang sedang menoleh ke belakang, tertuju pada sesuatu yang ia bawa di tangan kirinya, seorang gadis belia yang terkapar tidak berdaya dengan mata terpejam. Tanpa rasa kasihan, pemuda berambut dark brown itu terus menyeret kaki kanan sang gadis, membuat rambut panjang berwarna madu sang gadis tersangkut di antara rimbunnya ilalang yang tumbuh subur. Meskipun begitu, sang gadis yang tidak sadarkan diri itu tetap tidak bereaksi.

Tadaima,” ucap sang pemuda ketika membuka pintu kayu berukiran ular naga. Masih dengan menyeret kaki sang gadis, pemuda itu menyalakan lampu. Bias cahaya dari lampu kristal yang tergantung di tengah ruangan memperlihatkan pemandangan yang sesungguhnya. Pemandangan yang sangat berbanding terbalik dari luar rumah.

Ruang utama yang tampak luas sejauh mata memandang itu berkilau indah karena efek warna emas di setiap perabotannya. Empat lampu kristal yang menggantung kokoh di tengah ruangan membiaskan cahaya ke setiap sudut. Setelah menjatuhkan kaki sang gadis dengan kasar, pemuda itu berjalan melewati koridor menuju salah satu ruangan outdoor di belakang ruang utama. Kedua manik segelap malam milik pemuda menelusuri sebuah taman bunga lily of the valley yang berada di tengah kolam ikan berdiameter 3 meter.

Aishiteru, Danna.”  Seulas senyum miris terukir di bibir merah pemuda berambut brunette coklat tua itu. Tangan kanan pemuda yang ia celupkan ke air terayun lembut, membuat pantulan wajahnya yang semula terlihat jelas, kini hancur tergantikan dengan ombak-ombak kecil.

***

.: Flashback .:


SMA Meirin, sebuah lembaga pendidikan milik swasta yang berada di Osaka, Jepang. Tidak seperti sekolah-sekolah menengah atas lainnya, Meirin menyediakan jurusan khusus bagi mereka yang memang memiliki bakat dan minat. Dengan lebih mengunggulkan jurusan kesenian, Meirin menjadi sekolah favorit yang menjadi incaran calon-calon pelajar. Karena membuka jurusan kesenian, masalah peraturan dalam hal fashion adalah hal nomor satu yang diinginkan para pelajarnya. Mereka yang masuk sekolah tersebut bebas berkreasi dalam penampilannya. Memang tetap berseragam, namun tatanan rambut, aksesoris, dan juga bentuk seragam tidak diatur oleh pihak sekolah. Berbeda dengan para pelajar SMA yang ada digedung seberang jurusan kesenian.

Siang itu, cuaca sudah tidak lagi panas. Hembusan angin yang membawa aroma sejuk menjadi tanda bahwa musim panas telah berlalu dan tergantikan dengan musim gugur. Daun-daun momiji yang mulai berguguran menjadi nilai seni alam yang memanjakan setiap pasang mata. Seperti biasanya jika musim gugur tiba, selalu ada festival untuk menyambut musim baru. Tiga hari lagi tepat di akhir pekan, sekolah Meirin mengadakan acara festival sebelum hari Ekuinoks Musim Gugur.

“Sudah ada rencana untuk Ekuinoks? Hhhff …” Suara helaan nafas keluar dari bibir mungil milik sang pemuda manis. “Sepertinya liburan kali ini akan kuhabiskan bersama patung-patung yang tidak jelas bentuknya itu. Ck, mendokusai ... Tolong, ingatkan kenapa aku masuk jurusan seni rupa, Ryuu.”

Pemuda yang bernama Ryuuta itu melirik sebentar ke wajah putih Rei. Tanpa menghentikan aktivitasnya menanam rumput Susuki, rumput khas musim gugur, Ryuuta menjawab, “Kau pura-pura lupa atau memang bodoh, eh?” ejek Ryuuta disertai seringai nakal yang muncul di ujung bibirnya.

“Hei, hei, kau tidak perlu berkata jujur seperti itu, kan? Tanpa kau bilang, aku juga tahu itu. Dasar, tuan sok pintar! Aku masuk ke sekolah ini karena peraturannya yang menyenangkan ini,” kata pemuda berambut blonde, diiringi suara tawa. “Tidak sia-sia aku menyerahkan boneka lilin buatan adikku. Kau tahu, butuh perjuangan saat aku meminjamnya,” lanjutnya sembari mengingat saat pendaftaran masuk, dimana salah satu persyaratannya harus membawa suatu karya tiga dimensi.

“Bilang saja kau mencurinya,” balas pemuda berambut hitam, Ryuuta.

Rei, pemuda berambut blonde itu terkekeh. “Ya, kau benar. Hei, kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Ryuu. Apa yang akan kau lakukan di hari Ekuinoks?” Rei berhenti membuat lubang untuk menanam rumput. Ia menoleh, menatap pemuda maskulin di sampingnya dengan alis yang bertaut.

“Entahlah. Tapi kalau hanya diam di rumah, pasti akan membosankan. Kau?”

“Ah, kalau begitu, bagaimana jika kau menemaniku?”

Ryuuta mengernyitkan dahinya sembari menatap teman kecilnya yang kini tampak senang dengan kedua mata yang membulat. “Ke mana? Jangan bilang hanya ke game online.”

“Tidak, tidak. Aku ingin ke galeri boneka yang baru saja dibuka di ujung jalan sana. Kau tahu, kan?” tanya Rei.

Ryuuta mengangguk. “Heh, sejak kapan kau jadi tertarik dengan boneka?”

“Ck, aku hanya penasaran dengan galeri baru itu. Ingat, aku tidak tertarik dengan seni rupa apapun, Ryuu.” Rei yang semula melubangi tanah dengan berdiri, sekarang berjongkok untuk membantu Ryuuta menanam rumput Susuki. “Alasanku masuk sini karena hanya sekolah ini yang membebaskan style murid-muridnya.”

Ryuuta tahu kalau temannya itu tidak suka diatur. Tidak heran jika Rei mati-matian belajar seni agar bisa masuk sekolah itu.

“Kau mau, kan?”

“Hn,” jawab singkat Ryuuta.

“Kalau begitu, aku tunggu di depan gerbang utama setelah festival selesai, oke? Kau sudah berjanji, Ryuu.” Rei tersenyum senang, menampakkan eye-smile miliknya yang lucu.

Meskipun matahari telah merambat menuju titik teratas, murid-murid Meirin masih saja sibuk dengan kegiatan menyambut festival musim gugur. Persiapan yang rutin diadakan jika menjelang festival. Mereka semua sibuk membersihkan halaman, kelas, lapangan, taman, menghiasi ruang kelas, membuat stand-stand, dan masih banyak lagi.

Ryuuta Serizawa dan Rei Natsuya adalah teman sejak kecil. Entah memang jodoh (?) atau malah kesialan—kata Ryuuta—mereka terus sekelas semenjak SD. Ryuuta yang memang menyukai seni pahat menjadikan alasan kenapa ia bersekolah di tempat itu. Berbeda dengan temannya yang menjadikan ‘kebebasan’ sebagai motif untuk masuk ke sekolah itu. Tahun ini adalah tahun terakhir mereka menjadi murid Meirin setelah tiga tahun mereka mengenyam pendidikan seni di tempat tersebut.

“Ryuu …” panggil Rei pelan tanpa menoleh ke arah temannya.

“Hm?”

“Tidak. Tidak apa-apa.” Rei kembali menekan-nekan tanah, memadatkannya agar rumput hias itu tidak mudah terlepas. Namun, ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak baik-baik saja. Sepertinya, ada yang ingin ia sampaikan pada Ryuuta.

Ryuuta terdiam. Ia tahu kalau ada yang ingin Rei bicarakan. Tapi, bukan gaya Ryuuta jika memaksa Rei. Ia tahu, jika ada sesuatu dengan pemuda yang lebih pendek dari Ryuuta, cepat atau lambat Rei akan menceritakan padanya. Ryuuta tahu betul sifat Rei. Untuk orang yang kelebihan energi seperti Rei, tidak mungkin ia bisa berdiam diri dalam waktu yang lama.

“Ryuuta-kun!” teriak seorang sembari berlari ke arah Ryuuta dan Rei. Dari suaranya, kedua pemuda itu tahu siapa yang akan datang.

Rei yang pertama menoleh dan mendapati seorang gadis berlari ke arahnya. Helaian rambut ikal panjangnya yang berwarna madu tampak berkibar tertiup angin. Dengan senyum senang yang terukir di bibir merahnya, gadis itu mulai mendekati Ryuuta yang masih sibuk dengan kegiatannya dan mengabaikan kehadiran seseorang yang pernah menyatakan cinta pada Ryuuta.

Yare-yare, sudah kubilang jangan mendekati anak ini lagi, kan, Akira-chan. Aku cemburu, kau tahu?” Rei mengkerucutkan bibirnya, sebal. Sedangkan Ryuuta yang mendengar ucapan Rei, hanya diam. Ingat? teman Ryuuta itu suka bicara seenaknya. Tidak mungkin Rei suka pada gadis yang bahkan sudah dianggap musuhnya itu.

Akira, gadis cantik anak pemilik yayasan sekolah itu memasang wajah jutek. “Maaf saja, aku tidak tertarik padamu, Rambut Nanas,” ejeknya sambil mengacak-acak kasar rambut blonde milik Rei.

“Yak! Berhenti merusak tatanan mahkotaku, Aki-chan.” Rei menampik tangan putih Akira, membuat sang pemilik tangan mendengus. “Aku pergi saja. Selesaikan sendiri ya, Ryuu. Hati-hati dengan pengganggu itu, jaa.” Setelah menepuk-nepuk celananya, Rei langsung berlari menjauh, membuat Ryuuta yang dari tadi sibuk dengan tatanan rumput yang ia tanam, mengalihkan obsidian tajamnya menatap punggung Rei yang semakin menjauh.

“Boleh aku membantumu?” tanya gadis itu sembari di hadapan Ryuuta dengan kedua manik emerald—efek soft lense yang ia gunakan—yang membulat penuh harap.

Ryuuta menghentikan gerakan tangannya. Ia menatap gadis itu tanpa berkata-kata. Saling menatap dalam diam dengan jarak yang kurang dari  satu meter, membuat kedua pipi Akira memanas. Cepat-cepat Akira menundukkan wajahnya. Ia tidak pernah bisa menampik pesona obsidian tajam milik Ryuuta.

“Tolong ya …” ucap Ryuuta pelan.

“Eh?” Akira mengernyitkan alisnya sembari kembali menatap pantulan dirinya di mata Ryuuta.

Ryuuta tersenyum, lalu menjawab, “Tolong bantu aku.”

Raut wajah bingung Akira berganti dengan senyum cerah yang terukir di lengkungan indah miliknya. Melihat senyum mempesona dari pangerannya,membuat perut Akira seperti dikerubungi ribuan kupu-kupu. “Hai, jawabnya senang. Dengan begini, ia bisa berduaan dengan pemuda yang sudah lama ia sukai itu. Lovey dovey-nya yang sudah dua tahun ini membuatnya insomnia.

***

Seorang gadis cantik berjalan di koridor kelas dengan senandung kecil yang keluar dari bibir merah merekahnya. Sesekali ia membalas sapaan teman-temannya. Hari ini ia sangat senang. Setelah dua tahun berusaha mencuri hati pemuda tampan bernama Ryuuta, sekarang usaha yang ia lancarkan itu semakin membuahkan hasil. Sikap dingin yang dulu sering ia terima dari Ryuuta, sekarang—gunung es itu—mulai mencair. Subuah harapan baru muncul kembali setelah sempat membuatnya frustasi.

Akira berdiri tepat di depan lokernya dengan wajah menegang. Satu hal yang sudah menjadi kebiasaannya selama dua minggu terakhir ini ketika ia hendak membuka loker besi miliknya. Senyum manis yang tadi terbentuk dibibirnya, kini berubah menjadi getaran halus. Akira menggigit bibir bawahnya, gelisah. Dengan degupan jantung yang berdetak lebih cepat dari normalnya, ia mulai menyentuh kunci loker dengan bandul huruf 'SR'. Ia ragu untuk membukanya, namun juga penasaran.

Semoga kali ini tidak ada.”  Dengan penuh kewaspadaan tingkat tinggi, Akira menarik pintu loker itu perlahan. Setelah berdiam diri cukup lama, Akira mengumpulkan keberaniaannya. Sedikit demi sedikit kedua emerald yang tadi tersembunyi di balik kelopak mata Akira, terbuka. Untuk sesaat ia menahan nafasnya, namun setelah sadar dengan keberadaan sesuatu yang ditakuti Akira itu tidak ada, ia membuang nafasnya dengan lega.

“Haaaahhhhfff …” desah Akira sambil mengelus lembut dadanya. Kemudian ia mengambil sesuatu berwarna putih yang juga menjadi benda misterius untuknya. Corsage bunga Lily of the valley, bunga lili berukuran sangat kecil, berwarna putih, dan berbentuk menyerupai lonceng yang menggantung di setiap tangkainya. Akira mencabut sobekan kertas kecil yang terselip di antara kumpulan bunganya. Huruf kapital ‘R’ berwarna kuning menjadi inisial sang pengirim. Tidak heran kenapa yang ia dapatkan hanya bunga palsunya. Bukan karena sang pengirim misterius itu pelit. Tetapi karena lily of the valley adalah bunga musim semi yang biasa tumbuh di bulan Mei, sehingga mustahil ditemukan di musim gugur ini.

“Aki-chan, kau menjatuhkan ini.” Suara seorang gadis di sebelah loker Akira membuyarkan lamunannya. Gadis itu menyodorkan selembar foto pada Akira.

Dengan terpaksa senyum, Akira mengambil foto itu. “Sankyu, ne.”  Gadis itu tersenyum membalas ucapan Akira, kemudian beranjak pergi.

Inilah yang ditakuti Akira. Ia heran dengan dua benda tersebut yang kemunculannya selalu bersamaan. Setangkai corsage bunga lily dan selembar foto boneka perempuan berambut cokelat tua yang bertuliskan nama Akira. Namun yang membuatnya takut adalah gambar boneka itu yang bermandikan cairan merah yang ia yakini menandakan darah, ancaman pembunuhan, atau mungkin sebuah candaan. Di balik foto itu selalu ada kata-kata peringatan yang berbunyi, “Jauhi dia atau kau jadi milikku!” dan tertanda ‘N’ di sudut bawah foto itu.

“R. Mungkinkah Ryuuta-kun?” gumamnya tak yakin ketika melihat inisial yang ada di corsage-nya dan mengabaikan foto yang ia pegang. “Kalau memang dari dia, aku rela diteror seumur hidupku, hahaha …” tawanya dengan background gelembung-gelembung berbentuk hati.

Tidak ingin berlama-lama berada di tempat itu, Akira memutuskan untuk kembali ke kelas. Ia perlu bertanya pada teman-temannya yang selama ini membantu menyelidiki siapa pengirim itu.

“Lihat!” suruh Akira, menyerahkan selembar foto dan corsage yang dapatkan tadi kepada teman-temannya yang sedang sibuk mengobrol. Kemudian, gadis bermata bulat itu mengambil posisi di salah satu bangku yang kosong di samping gadis berambut hitam pendek yang sedang asyik dengan rajutan sarung tangannya, Fuyuki nama gadis yang paling pendiam di antara mereka berempat.

“Kau mendapatkannya lagi, Hime? Sudah yang berapa kali?”

“Astaga, laporkan saja ke polisi. Ini teror namanya. Tidak sulit untuk mumelakukan itu. Kau kan pemilik sekolahan ini.”

“Apa kau tidak mengunci lokermu, Hime?”

Akira yang menenggelamkan wajahnya di atas meja hanya menjawab semua pertanyaan temannya dengan sebuah gelengan kepala. “Tidak semudah itu untuk melaporkannya,” jelas Akira setelah mengangkat wajah cantiknya. “Itu hanya akan membuat berita heboh di sekolah ini. Lagi pula, siapa tahu itu dari salah satu secret admirer-ku. Mungkin kerena dia pemalu, dengan cara ini dia mencari perhatianku. Karena itulah, aku tidak terlalu cemas. Kalian tahu, ini yang namanya resiko jadi orang cantik. Aku baru tahu kalau kecantikan itu sebuah dosa. Apa ini kutukan, ya?” Akira yang semula tampak kusut, kini berbinar-binar ketika memvonis kecantikan dirinya. Semburat kemerahan di kedua pipi Akira menandakan bahwa ia mengatakannya dengan malu-malu, sebuah alibi untuk menutupi kekhawatirannya.

Mendengar pidato panjang yang menjadi kebiasaan sang Hime, membuat ketiga teman Akira hanya bisa mendengus. Berteman selama tiga tahun, membuat mereka hafal satu sama lain sifat masing-masing. Akira gadis cantik, baik, suka bercanda, disukai banyak orang, dan juga gadis idaman semua murid laki-laki itu memang paling suka memuji dirinya sendiri.

Lily of the valley, bunga paling indah dalam keluarga lily yang tumbuh hanya di musim semi pada bulan Mei. Digunakan untuk keperluan pengobatan karena dapat mencegah racun, kerusakan hati, dan epilepsy. Tapi juga bisa menjadi shinigami jika dikonsumsi berlebihan. Karena itu, bunga ini lebih banyak dijadikan parfum karena wangi khasnya. Lily lembah diartikan sebagai lambang kemurnian, kesederhanaan hati, juga dipercaya pembawa keberuntungan,” jelas seorang gadis berambut panjang sepinggang berwarna dark brown, Maaya sembari memutar-mutar tangkai corsage bunga lily itu.

Penjelasan yang tiba-tiba terlontar dari bibir gadis berkulit pucat yang dikenal teman-temannya sebagai ‘Putri Tidur’ membuat tiga pasang mata menatap Maaya dengan tanda tanya besar yang menggantung di atas kepala mereka.

“Kau? Dari mana kau tahu itu? Dan … sejak kapan kau belajar pengetahuan herbology?” tanya Fuyuki kepada gadis penyuka dunia musik, Maaya. Kedua alis Fuyuki yang terbentuk rapi menukik dan hampir saling bertaut.

“Ini.” Maaya menunjukkan ponsel miliknya dimana situs yang ia buka adalah google.

Fuyuki memasang wajah lega dan menjawab, “Ck, pantas saja. Aku kira kau sakit, mendadak pintar begitu.”

“Dari sini ada dua kesimpulan, Hime. Dengar!” Ketiga teman Maaya tampak serius memperhatikan penjelasannya. “Pertama, bisa jadi ini dari fans-mu, karena arti bunga ini yang melambangkan ketulusan. Kedua, mungkin dan semoga tidak, ini dari orang yang membencimu. Ingat! Bunga ini mengandung racun.”

Akira meneguk ludahnya, cemas. Benar juga yang dikatakan Maaya. “Lalu, bagaimana dengan fotonya?”

Gelengan kepala dari mereka bertiga—teman Akira—menjadi jawaban dari pertanyaan yang membingungkan, membuat Akira kembali cemas.

“Akira-chan, uhmm … apa kau tidak merasa aneh dengannya? Laki-laki di pojok sana, yang berambut brunette perak itu?” tanya Hana, siswi yang tidak banyak bicara. “Jangan menoleh! Cukup melirik saja.”

Akira yang keheranan hanya bisa diam dan mematuhi ucapan temannya. Dengan ekor mata emerald-nya, Akira melirik pemuda yang dimaksudkan oleh Hana. Remaja laki-laki yang sudah hampir tiga tahun sekelas dengannya, namun belum pernah sekalipun ia mengobrol lebih dari satu kalimat. Pemuda berambut perak, berkulit pucat, dengan sepasang amethyst—ungu mengkilat— menawannya itu tampak berkonsentrasi penuh pada sebuah miniatur yang berdiri di mejanya.

“Kenapa dengannya?” tanya Maaya.

“Aku sering sekali memergoki dia sedang menatap ke arahmu. Dari tatapannya itu, seperti dia ingin menelanjangimu, Akira-chan.” Hana menepuk punggung tangan Akira, memberi tanda agar Akira berhenti memperhatikan pemuda ber-soft lense minus itu.

“Ah!” pekik Fuyuki. “Sepertinya dia menyukaimu, Hime. Ingat saat kau bertemu di perpustakaan dan kalian saling bertabrakan? Lalu saat kita ke kantin, dia menjatuhkan botol soft drink-nya di sebelahmu, setelah itu di parkiran kita juga bertemu dengannya lagi. Kalau direnungkan lagi, baru akhir-akhir ini kita sering bertatap muka dengannya. Dia yang selama ini tidak pernah bergaul dengan siapapun dan pasti selalu menghilang ketika di luar jam kelas, bukankah itu aneh?” Fuyuki menjelaskan perkiraannya disertai melebarnya sepasang mata yang mirip hazel milik Fuyuki.

Kata-kata Fuyuki mengantarkan gelombang-gelombang elektromagnetik yang mempompa otak, menyuruh mereka untuk segera mencerna dan menghubungkan serpihan-serpihan memori tentang seorang pemuda yang menjadi topik pembicaraan mereka. Gerombolan gadis yang duduk saling berhadapan itu terdiam sembari menatap punggung pemuda misterius yang bahkan namanya saja tidak mereka ingat dengan benar. Tidak ada di antara mereka yang mengetahui sosok pemuda itu, sehingga informasi yang mereka dapatkan pun tidak bisa memenuhi ruang kosong pecahan-pecahan puzzle yang mereka cari.

Srakk!

Suara yang sedikit menyakitkan telinga itu berasal dari gesekkan kaki kursi dan lantai, membuat puluhan mata yang ada di ruang kelas mengalihkan pandangannya. Pemuda yang menjadi hot news keempat remaja cantik itu berdiri dari tempatnya, lalu menundukkan tubuhnya untuk memungut sesuatu yang terjatuh dari kantong celananya, sesuatu yang membuat keempat remaja itu terbelalak tidak percaya. Benda itu, setangkai corsage lily of the valley tergenggam erat di tangan putih pemiliknya. Sang pemuda berusaha menyembunyikan benda itu. Masih pada posisi yang sama, pemuda itu menoleh kearah Akira yang tampak memasang wajah datar.

Gadis bersurai madu itu terdiam tanpa ekspresi apapun dari paras cantiknya. Tidak lama, seulas senyum malaikat terpatri di bibir plum Akira. Dengan segera, Akira melangkah untuk menghampiri pemuda itu, membuat ketiga teman Akira menjatuhkan rahangnya, heran.

“Natsuya-kun, benar?” tanya Akira dengan mengerjapkan kedua mata hijau itu membuatnya tampak begitu manis dan terlihat polos. Sembari berjongkok di hadapan pemuda yang dipanggil Natsuya, Akira memasang senyum terbaiknya.

Pemuda itu tidak langsung menjawab pertanyaan Akira. Ia justru terbengong dengan wajah keheranannya. Melihat senyum itu, membuat lupa bahwa ia masih di daratan. Keadaan itu berlanjut sampai beberapa detik ke depan. Natsuya yang memang mempunyai keterbatasan berinteraksi, tidak peduli dengan kasak-kusuk yang terdengar ditelinganya. Satu hal yang membuatnya terfokus adalah seseorang yang sekarang ada di depannya, Akira.

“Yosh! ” Akira memekik penuh semangat setelah menegakkan tubuh rampingnya. “Aku akan mengumumkan sesuatu. Mohon perhatiannya, minna-san. Mulai detik ini, dia adalah kekasihku.” Deklarasi dari seorang anak pemillik yayasan tersebut membuat semua orang yang ada di dalam kelas itu menganga lebar.

Natsuya, pemuda yang menjadi obyek Akira tidak kalah kaget, namun ia pintar menyembunyikan ekspresi wajah manisnya. Ia hanya diam mematung sembari menatap gadis cantik yang sedang memegang bahu Natsuya di sebelahnya dengan tanda tanya besar.

Akira tersenyum manis, namun bagi mereka yang peka, dari senyum indahnya itu ada maksud tersembunyi dan sesuatu itu bukanlah hal bagus. “Uhm … maaf, Natsuya-kun, tapi aku tidak bisa berlama-lama menjadi kekasihmu. Karena itu, sekarang kita putus oke,” ucap Akira dengan polosnya.

Pemuda bermarga Natsuya yang memang menunggu kalimat kedua tidak kaget. “Apa maksudmu?” tanya Natsuya singkat dengan nada datar, seperti biasa.

“Bukankah ini yang kau inginkan? Kau menyukaiku, karena itu kau mengirimiku bunga lily ini, kan? Baiklah, karena aku sudah mengabulkan keinginanmu meski hanya beberapa detik, jangan ganggu aku lagi, ne.” Senyum manis masih terpahat di bibir Akira.

Puluhan pasang mata di dalam kelas menyaksikan pemandangan itu tidak percaya. Fatamorgana-kah? Mereka tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang gadis yang biasanya elegan, mampu berkata-kata seperti itu. Tapi, untuk mereka yang mengenal betul watak sang putri—ketiga teman Akira—itu bukanlah hal yang mengejutkan. Akira memang selalu frontal, terlebih kepada seseorang yang tidak ia kenal.

Rui Natsuya—nama lengkap pemuda itu—nama yang tidak Akira ketahui itu sedikit membulatkan matanya kerena kaget kepergok oleh Akira. Selama ini, memang benar dirinya yang mengirimi corsage-corsage itu. Tetapi, alasan Rui melakukan itu bukanlah seperti apa yang Akira katakan. Bingung berkata-kata, Rui mengalihkan kedua pasang amethyst-nya ke arah pintu.

“Re– Rei …” gumam Rui pelan saat melihat pemuda yang berdiri di depan pintu kelas. Tersirat kekhawatiran yang begitu dalam ketika Rei beranjak pergi dengan ekspresi wajah datar. Meskipun begitu, Rui sangat mengetahui apa maksud dari pancaran mata onyx kakaknya, saudara kembar Rui dimana hubungan itu ditutupi duo Natsuya.

“Rei!” teriak pemuda berambut perak sembari mengejar sang kakak, meninggalkan aura ketegangan yang menyerbak di kelasnya.

***

Tiga hari berlalu, meninggalkan kenangan yang menghebohkan antara sang Hime dan Rui. Namun di hari festival ini, terukir sejarah baru antara sang Hime dan pemuda maskulin pemilik obsidian tajam yang memukau. Mereka berdua resmi menjadi sepasang kekasih pagi tadi setelah perjuangan panjang sang Hime mencairkan gunung es di hati Ryuuta.

Sore ini semua murid Meirin sibuk membereskan properti selama festival. Sepoi angin yang berhembus lembut menjadi obat alami rasa tidak nyaman karena aroma keringat yang membasahi kulit dan menerobos keluar dari serat kain. Meskipun wajah lelah tidak bisa mereka hapus, tawa riang mereka masih terdengar di sela-sela kegiatan.

“Ryuuta-kun, apa benar kau sudah jadian dengan Akira-chan?” tanya Hana pada pemuda tampan dan maskulin, penasaran.

“Uhm. Apa kalian tidak suka?” Ryuuta menjawab tanpa menghentikan kegiatannya membereskan berbagai macam kerajinan tangan bernilai seni tinggi yang telah dipamerkan di acara festival tadi.

Suara tawa sungkan keluar dari bibir Hana. “Tentu saja tidak. Kami hanya memastikannya karena tadi pagi dia heboh sekali ketika bercerita tentang hal ini.”

“Hmm, ano … apa kau melihat Hime?” tanya Fuyuki malu-malu. “Kami mencarinya sejak tadi.”

“Dia sedang bicara sesuatu dengan Rei di stand boneka tadi,” jawab Ryuuta sembari melirik ketiga sahabat dari kekasih barunya, membuat mereka ber-O ria.

.: Flashback end :.


Laki-laki itu mulai menyalakan sebuah mesin pemotong yang ada di tangannya. Dengan mata yang berkilat tajam, ia tersenyum penuh kepuasan seakan menemukan oasis di tengah Sahara. Ia berjalan menuju mangsanya yang akan menjadi koleksi dan karya pertama. Dengan hati-hati, ia mendekatkan mesin pemotong tersebut pada bagian tidak vital sang korban. Mesin pemotong dengan pisau berigi berbentuk bulat itu kini bersentuhan dengan permukaan gumpalan daging berkulit putih, membuat cairan berwarna merah yang ia tunggu-tunggu merembes keluar dan menyembur membasahi lantai, mengalir deras memasuki rongga-rongga lantai semen yang sudah berlumut. Mesin itu melesat masuk lebih dalam, memotong apapun yang tersentuh pisau tajam milik pemuda itu. Cairan merah itu semakin menggila untuk berebut keluar. Setiap benang-benang sel, otot, pembuluh darah, dan serat daging tidak ada yang selamat dari beringasnya pisau mesin tersebut.

Cipratan yang mengenai apapun di sekitarnya, membuat pemuda manis itu semakin memperdalam mesin pemotongnya. Aroma anyir yang menguar dari luka yang ia torehkan menjadi heroin baginya untuk terus mengeluarkan wine merah yang membanjiri lantai, termasuk tubuhnya. Pemuda itu menghentikan kegiatannya ketika sayatan melingkar berhasil ia ciptakan. Ia menahan nafsunya untuk memotong dan mematikan senjata pencabut nyawa miliknya ketika pisau tajam itu menyentuh benda keras di dalam gumpalan daging yang mengucurkan wine. Dengan sekali hentakkan kuat, pemuda yang bermandikan wine itu melepas tulang engsel sang korban. Cepat-cepat ia memasangkan sebuah lempengan besi panas yang masih membara berbentuk setengah bola dengan pengait di permukaan. Potongan lengan yang berlumuran darah itu kini berhenti mengucurkan darah merah setelah besi itu terpasang. Aroma anyir pekat yang menyengat indera penciuman, kini tergantikan dengan aroma hangus dari daging terbakar.

Senyum membunuh pemuda itu semakin merekah ketika melihat paras korbannya yang tidak berdaya diperlakukan seperti boneka. Sakit hatinya sekarang terbayar. Ia kembali memasangkan besi pada lengan kiri untuk menghentikan pendarahan. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin korban pemuda itu meregang nyawa sekarang, belum saatnya. Pemuda bermata onyx itu melakukan hal yang sama pada ketiga bagian yang tersisa, membuat suara bising dengan mesin pemotongnya yang membuat siapapun bergidik. Tetapi, tidak untuk pemuda itu. Ia justru menikmati setiap semburan darah yang mengalir dan terpotongnya serat-serat daging dari ukiran yang ia ciptakan. Ini adalah seni terindah yang pernah ada.

Setelah berjam-jam berkutat dengan bonekanya, kini selasai juga. Sekarang hanya perlu membersihkan dan menunggu sang boneka bangun dari tidurnya, maka ia siap dengan rencana selanjutnya. Lagi-lagi, senyum penuh kepuasaan terbentuk di bibirnya. Pemuda itu berdecak kagum pada boneka buatannya yag telah sempurna dimana setiap potongan-potongan telah ia kaitkan.

***

Seorang pemuda berkulit putih tersenyum manis menunjukkan keindahan dimple-nya. Kedua onyx yang bulat itu tampak menyipit ketika tertawa. Helain rambut brunette-ya menari-nari terhembas angin malam yang masuk dari jendela. Suara cekikikan terdengar menggema di sebuah gudang tua, ia begitu senang memainkan boneka seorang gadis cantik. Tali-tali panjang yang terhubung dengan sang boneka yang tersemat di jemari pemuda itu bergerak berirama.

“Eunghhhhh …” lenguh seseorang di bawah sana, di lantai satu.

Seorang gadis yang sudah terbangun dari tidur panjang tampak mengerjapkan mata hijaunya beberapa kali, berusaha beradaptasi dengan cahaya sekitar. Setelah beberapa saat tersadar dengan keberadaannya, gadis itu melirik tangannya bergerak-gerak sendiri di luar kendalinya. Merasa bingung, gadis itu memperhatikan tubuhnya. Emerald-nya yang telah meredup itu terbelalak lebar membuat sang putri tercekat. Detak jantung yang semula berdenyut teratur, kini mendadak berhenti untuk beberapa saat, lalu berdetak lagi lebih cepat. Dengan nafas yang tersengal-sengal, gadis itu berusaha berteriak. Namun sekuat apapun ia berusaha, hal itu sia-sia belaka selama plester yang menutupi mulutnya tidak lepas.

“Eunghhhh … eunghhh …” Gadis itu meronta ketakutan. Butiran-butiran kristal mulai membanjiri pipi putihnya. Sungguh, tidak bisa dipercaya ketika menemukan dirinya telah menjadi boneka tali. Kedua tangannya yang terpotong di bagian siku dan pergelangan tangan. Sedangkan kedua kakinya terpotong di bagian lutut dan pergelangan kaki dimana di setiap potongan saling terkait dengan besi sebagai engselnya.

Ohayou, Hime,” sapa sang pemuda, berjalan mendekati hasil karyanya yang terduduk di atas kursi kayu. Melihat siapa yang datang, ‘boneka’ itu tampak lebih kaget dari sebelumnya. Gadis itu meronta-ronta, menyebabkan bagian tubuh yang telah terpotong bergerak-gerak sendiri.


Rei, nama pemuda itu berkata, “Sebelumnya, terima kasih sudah menjadi modelku, Akira-chan.” Ia tersenyum senang. “Yah, mau bagaimana lagi, aku sudah berkali-kali mengingatkanmu lewat foto ini.” Rei menunjukkan selembar foto yang sangat Akira kenal. “Rui, kembaranku, juga memberi peringatan padamu, Aki-chan. Dia bahkan sudah tertangkap basah olehmu. Sayang sekali kau tidak mengerti maksudnya. Dengar! Alasan kenapa dia memberimu corsage lily karena dia tahu kalau aku akan melakukan ini. Aku suka sekali dengan bunga ini, lily lembah. Dan lihat, inisial yang adikku tulis adalah huruf R berwarna kuning yang berarti Rei si blonde. Yah, meskipun sekarang rambutku sudah tidak kuning. Tapi aku sengaja menulis dengan inisial ‘N’ untuk Natsuya, Hime. Sekarang kau mengerti, kan?” Penjelasan Rei membuat otak pintar Akira mendadak seperti berkarat.

“Dan kalau kau ingin tahu alasannya aku melakukan ini ...” tanya Rei sembari membelai pipi halus Akira. “... Itu karena aku cemburu.” Rei menatap tajam sepasang emerald Akira. Detik berikutnya, Rei tersenyum. “Astaga, tapi bukan padamu, Hime. Sama seperti adikku yang juga tidak menyukaimu. Karena aku menyukai– ah, tidak, aku mencintai … Ryuu, Ryuuta-danna.”

Sebuah sengatan listrik berdaya tinggi seakan menghantam Akira, membuat seluruh otot dan sel-selnya berhenti bekerja ketika mendengar kata-kata Rei, pemuda yang gadis itu kira menyukai dirinya. Keheningan tercipta di antara mereka. Hanya suara angin malam yang berhembus dan menggugurkan daun-daun momiji dari balik jendela yang terdengar di telinga mereka.

***

“Ada kejutan untukmu di toko boneka yang aku katakan kemarin. Selamat menikmati, Ryuuta no danna.” Suara yang Ryuuta kenal terputus secara sepihak. Padahal, ia ingin bertanya kemana Rei pergi kemarin setelah acara festival selesai. Ryuuta mengernyitkan dahinya setelah mendengar kata-kata dari Rei.

Danna?” gumamnya. Penasaran, Ryuuta pergi ke toko yang dimaksudkan temannya. Kebetulan hari ini libur.

Ryuuta yang sudah dekat dengan toko yang ia cari, terpaku mendengarkan obrolan beberapa pengunjung yang keluar dari toko boneka yang menjadi tujuannya.

“Benar-benar seorang seniman hebat. Boneka itu seperti manusia sungguhan. Kau menyentuh kulitnya, kan? Cantik, tapi mata hijaunya terlihat sedih.”

“Ya. Karena itu, siapapun pembuatnya, dia benar-benar orang yang jenius.”

“Kalau tidak salah boneka itu bernama Akira, kan?"

"Ningyo no Aki, boneka musim gugur. Nama yang bagus. Cocok sekali dengan musim gugur ini.”


END
This is My World © 2008 Template by:
SkinCorner